Pendahuluan: Di Balik Reruntuhan Sebuah Bangunan Bersejarah
Rumoh Geudong bukan sekadar rumah tradisional Aceh. Bangunan ini menyimpan kisah kelam dalam sejarah konflik di Indonesia, khususnya pada masa konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Kini, bangunan tersebut telah diruntuhkan, menyisakan tanya dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Sejarah Singkat Rumoh Geudong
Rumoh Geudong berlokasi di Desa Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh. Awalnya, bangunan ini adalah rumah tradisional milik seorang tokoh lokal. Namun, pada era 1990-an, rumah tersebut diambil alih oleh aparat keamanan dan dijadikan sebagai pos militer dalam operasi militer di Aceh, khususnya saat diberlakukannya status Daerah Operasi Militer (DOM).
Fungsi Baru yang Mengubah Segalanya
- Tahun 1989–1998: Digunakan sebagai markas militer oleh aparat keamanan.
- Menurut pengakuan banyak korban, tempat ini dijadikan pusat penyiksaan terhadap warga sipil yang dicurigai terlibat dalam gerakan separatis.
- Rumoh Geudong menjadi simbol penderitaan dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat di Aceh.
Catatan Hitam: Pelanggaran HAM di Rumoh Geudong
Dalam berbagai kesaksian yang berhasil didokumentasikan oleh lembaga HAM dan Komnas HAM, disebutkan bahwa Rumoh Geudong adalah tempat terjadinya:
- Penahanan sewenang-wenang
- Penyiksaan fisik dan psikis
- Kekerasan seksual
- Penghilangan orang secara paksa
Data penting:
- Komnas HAM pernah menyelidiki 146 kasus penyiksaan yang terjadi di lokasi ini.
- Banyak korban tidak pernah mendapatkan keadilan hingga hari ini.
Dirobohkannya Rumoh Geudong: Simbol Akhir atau Awal Baru?
Pada tahun 2023, Rumoh Geudong resmi dirobohkan oleh pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah. Langkah ini menuai berbagai reaksi:
Pro:
- Sebagai upaya pemerintah dalam memulai proses rekonsiliasi dan pemulihan trauma.
- Merupakan bagian dari program pemulihan korban pelanggaran HAM berat di Aceh.
- Lahan bekas Rumoh Geudong akan dijadikan Monumen Perdamaian dan Keadilan, sebagai bentuk pengingat akan tragedi kemanusiaan.
Kontra:
- Banyak aktivis dan keluarga korban menilai bahwa perobohan tersebut dilakukan tanpa melalui proses dialog yang mendalam.
- Kekhawatiran bahwa sejarah kelam ini akan dilupakan begitu saja tanpa pengungkapan kebenaran yang utuh.
- Beberapa pihak melihat langkah ini sebagai bentuk “penghapusan jejak” sejarah.
Apa Kata Korban dan Aktivis?
“Kami bukan ingin balas dendam. Kami hanya ingin kebenaran dan pengakuan,” — Nuraini, salah satu penyintas dari Rumoh Geudong.
“Membongkar bangunan bukan berarti mengubur sejarahnya. Justru seharusnya menjadi momen membuka lembar baru dengan menyampaikan kebenaran,” — Aktivis HAM lokal.
Langkah Menuju Keadilan dan Rekonsiliasi
Pemerintah bersama Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mulai menggulirkan beberapa inisiatif:
- Pemberian kompensasi dan rehabilitasi psikologis bagi korban atau keluarganya.
- Pembangunan memorial site di bekas lokasi Rumoh Geudong.
- Pendidikan sejarah lokal agar generasi muda mengetahui dan belajar dari masa lalu.
Penutup: Menyimpan Luka, Merajut Harapan
Rumoh Geudong adalah bagian dari sejarah panjang bangsa ini, khususnya bagi rakyat Aceh. Dirobohkannya bangunan ini bukan sekadar meratakan kayu dan tembok, melainkan menggugah kembali memori kolektif tentang masa lalu yang perih.
Kini, tantangan terbesar bukan hanya pada pembangunan fisik, tetapi bagaimana menghadirkan keadilan, mengungkap kebenaran, dan menciptakan masa depan yang bebas dari kekerasan serupa. Karena sejarah bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dijadikan pelajaran agar tak terulang kembali.
